Prestasi dan Persaingan

Manusia dapat menang dalam suatu persaingan hanya jika ia berhasil mencapai kesuksesan. Orang yang menolak persaingan bukan berarti ia menyerah begitu saja dalam pergolakan kemasyarakatan zaman sekarang ini karena tindak tanduknya bukan berdasarkan apa yang dilakukan orang lain, melainkan ia mempunyai gambaran maksud dan tujuan yang tersendiri. Persaingan membuat seorang teman dapat menjadi musuh yang potensial, dan hal ini bukan mempengaruhi kehidupan dalam lingkungan ikatan keluarga.

Mengapa kita tidak boleh memupuk persaingan dalam kelas-kelas sekolah dasar ? Banyak di antara kalangan orang tua yang menuntut agar sekolah-sekolah kota membimbing anak-anak menuju “dosa hidup yang indah” yang terdapat di dalam masyarakat kita yang berorientasi kepada konsum. Menurut tanggapan orang-orang tua yang seperti ini, manusia-manusia muda perlu dididik untuk memperoleh persiapan dalam memasuki dunia prestasi dan persaingan. Orang-orang tua ini tidak memahami bahwa persaingan dan nilai-nilai sekolah yang baik, evaluasi, pengakuan atan pemberian imbalan prestasi akan mengakibatkan kelas tersebut terpecah menjadi dua bagian. Kelompok yang kecil terdiri dari anak-anak yang belajar lebih unggul dari yang lain, agar dengan demikian dapat memandang rendah kepada kelompok yang lebih besar. Dalam lingkungan sekolah yang seperti ini tidak akan ditemukan adanya kesediaan untuk bekerja sama. Anak-anak tidak menghormati martabat orang lain, dan juga tidak dapat mengakui dan menerima orang lain. Kepada mereka juga tidak diajarkan cara menghadapi tuntutan-tuntutan situasi yang ada atau juga untuk memberikan pertolongan yang berguna bagi orang lain.

Oleh karena anak-anak itu tidak merasakan integrasi dirinya dengan kelompok yang ada, mereka puntidak memiliki rasa harga diri yang kuat. Dasar sikap mereka mengatakan : “Kalau kau tidak dapat bersekutu dengan yang lain musuhilah mereka.”

Diantara mereka yang lebih terampil itu hanya sedikit yang dapat menarik pengalaman positif dari perjuangan persaingan. Sebagian besar dari anak-anak tadi menjadi tak bersemangat sama sekali karena persaingan yang digunakan sebagai metode motivasi belajar. Mereka pun menjadi putus asa dan prestasinya menurun, bukan bertambah maju.

Selama persaingan dipertahankan terus, si anak akan terus menyianyiakan tenaganya karena ia hanya memikirkan antara keuntungan dan kerugian, dan oleh sebab itu hilang terserap oleh tujuan tersebut. Seorang yang hidup dalam persaingan sudah diprogramkan melalui pendidikan dan pengarahan untuk berfungsi hanya jika ada keuntungan yang diharapkan. Dan kalau ia ternyata gagal, maka emosi-emosinya akan membuka kedoknya sendiri atau sebaliknya, ia akan menyalahkanorang lain. Jadi ia membuang-buang tenaga yang semestinya digunakan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya yang sesungguhnya.

Dalam kehidupan ini, orang-orang yang tidak mampu memahami dan menerapkan pengertian emansipasi dengan sesungguhnya, beralih ke jalan lain yang lebih “gampang” : bersaing untuk dapat hidup.

Seorang yang menolak persaingan dengan tegas bukanlah berarti orang yang telah menyerah begitu saja terhadap hukum masyarakat yang menggunakan prestasi sebagai tolak ukur. Tindakan-tindakannya dilandaskan pada gambaran yang tersendiri dan tidak meniru apa kata orang yang harus bagi kita sebagai “manusia”. Ia tidak memandang manusia di sekitarnya sebagai musuh yang potensial, dan oleh karena itu ia dapat memperoleh teman dan tetangga tanpa dibayangi oleh suatu prasangka. Jika tidak ada tekanan prestasi yang bersaingan, tidak akan ada pula perasaan yang lebih unggul atau lebih redah dari yang lain ; sikap dan tindak-tanduk kita dipengaruhi oleh status yang lebih tinggi, prasangka, dan sifat yang intoleran. Jika seorang manusia dapat menerima dirinya sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan, maka ia berani mengakui ketidaksempurnaannya. Dalam dunia persaingan, keinginan belajar seorang anak dan daya penyesuaian dirinya tidak mendapat pembinaan. Akan tetapi apabila kita mendidik anak-anak kita secara sosial-integratif, kita akan dapat memetik partisipasi dari mereka dan dapat membimbing mereka sebagai tujan jangka panjang – menuju sikap dan pendirian yang bersifat sosial.

Kata-kata yang pernah dirulis Adler awal abad ini masih tetap memiliki sifat yang revolusioner sampai sekarang ini :
“Dalam lingkungan masyarakat dengan sistem nilai yang ditentukan oleh prestasi seperti yang sekarang ini, kita melihat dengan jelas bahwa murid sekolah, pada tahun-tahun pertama dididik, lebih mengarah kepada perjuangan persaingan daripada untuk bekerja sama : pendidikan untuk memenangkan persaingan berjalan terus selama mereka di sekolah. Pendidikan yang seperti ini dapat menjadi bencana bagi si anak. Akibat yang harus ditanggung oleh si anak sama beratnya, baik sebagai pemenang di sekolah dan berusaha untuk unggul terhadap murid-murid lainnya, maupun jika ia ternyata gagal dan menyerah dalam perjuangannya. Dalam kedua hal tersebut, si anak terutama sekali hanya akan menaruh perhayian terhadap dirinya sendiri. Dia tidak melihat adanya alasan untuk bersikap sosial, melainkan bertujuan menjaga keselamatan kepentingannya sendiri. Kelas-kelas di sekolah seharusnya dibina seperti struktur kesatuan keluarga, yang setiap angotanya merupakan bagian dari keseluruhan.
Apabila suatu kelas dapat berfungsi sebagai suatu kelompok, maka semua murid akan menaruh perhatian terhadap satu sama lain, dan mereka akan melakukan kerja sama dengan senang hati. Saya sudah sering melihat ‘anak-anak yang sukar dididik’, yang kemudian mengalami perubahan sikap berkat pertolongan teman-teman sekelasnya yang bersedia melakukan kerja sama.
(Rudolf Dreikurs & Pearl Cassel, 1986 : Bandung dalam bukunya Disiplin Tanpa Hukuman).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keunggulan dan Kelemahan Metode Mastery Learning

Kalender Pendidikan Provinsi Jawa Barat Tahun Pelajaran 2023 - 2024

RPP Kelas Kontrol dan Eksperimen